Tahun 2020, bagi sebagian besar orang merupakan mimpi buruk yang akan menimpa negeri ini. Banyak stasiun televisi dan berbagai media melontarkan berita-berita yang terkesan “template” alias membahas satu kasus yang sama yakni, masuknya virus corona di Indonesia.
dlm382 nike air max aliexpress logitech c270 microphone not working adidas yeezy 700 v3 astro a50 ps4 and pc converse lugged beige kallax korkekiilto hylly blogspot vans chima ferguson pro 2 port royale black forty two skateboard shop cheap jerseys balmain carbone fragrantica μπουφαν γυναικειο speed x cordura air nike sneakers Purchase college team jerseys at a discounted price and of high quality sbloccare oblo lavatrice ariston miroir terzoSetiap hari kasus positif pun bertambah dan semakin banyak nyawa melayang akibat virus yang merajalela. Mau tidak mau, para raga yang masih bernyawa pun berlomba-lomba untuk menyelamatkan diri dari serangan virus mematikan ini.
Banyak yang harus dikorbankan dalam melawan pandemi ini, antara lain, membatasi kegiatan yang dilakukan di luar rumah, sedangkan pada zaman milenial atau disebut pula zaman teknologi 4.0, hampir segala hal dikerjakan oleh “sistem”.
Seperti pepatah yang dikemukakan oleh filsuf ternama Jerman, Karl Marx, yakni bahwa dalam kacamata filsafat dialektika, tidak ada yang dibangun untuk sebuah keabadian, tidak ada yang absolut dan suci.
Pepatah ini sangat relate dengan kondisi masa sekarang ini, dimana segala kegiatan hampir semuanya digantikan oleh sistem atau robot. Banyak pertanyaan pun akhirnya muncul dari para kaum awam, Akankah segala pekerjaan manusia dapat diambil alih oleh sistem?
Pertanyaan tersebut tak jarang mengguncang hasrat anak muda generasi milenial atau biasa disebut gen-z untuk membuktikan bahwa sistem (robot) dapat digunakan semestinya dan seperlunya, sehingga tidak mengurangi jumlah SDM berkualitas di negara kita.
Kita bisa bayangkan andaikata segala pekerjaan diambil alih oleh robot. Kita akan kehilangan kemampuan untuk bekerja dan beraktivitas normal layaknya kehidupan tanpa “robot”. Keturunan kita pun bahkan dapat menjadi generasi tanpa SDM berkualitas dikarenakan para robot mengambil alih segala kegiatan yang dapat membentuk SDM berkualitas dalam diri manusia.
Tentu saja hal tersebut menjadi mimpi buruk bagi generasi milenial, sehingga banyak dari generasi milenial mencetuskan perubahan-perubahan di era pandemi seperti sekarang ini.
Kita tentu dapat mengambil gambaran dari kejadian tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam, dimana dapat dikatakan bahwa peradaban di Aceh kala itu hancur tak bersisa, hanya tersisa puing-puing dan berbagai material yang ikut terbawa oleh tsunami yang menyapu daratan Aceh kala itu.
Tentunya para masyarakat Aceh kala itu tidak hanya tinggal diam melihat puing-puing sisa tsunami yang berserakan dimana mana. Semua orang kala itu kehilangan segalanya termasuk sanak keluarga yang sangat berharga bagi mereka.
Namun berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, Aceh pelan-pelan namun pasti, bangkit dari keterpurukan akibat tsunami yang dengan ganas melanda.
Para masyarakat terutama generasi muda Aceh kala itu dengan semangat menggencarkan pembangunan kembali dengan memanfaatkan segala yang ada dengan maksimal termasuk dengan bantuan-bantuan yang diberikan kepada mereka.
Pemuda-pemudi Aceh, bersama dengan UNICEF kala itu menggerakkan operasi kemanusiaan tanggap darurat bencana, mereka bergerak cepat dalam menyelamatkan anak-anak dari kematian dan berbagai penyakit, membantu memulihkan trauma mereka terutama saat menghadapi hal yang tak pernah mereka duga, mengajak mereka kembali mengenyam pendidikan yang lebih baik serta mempertemukan dengan keluarga atau kerabatnya kembali yang terpisah-pisah oleh karena bencana yang melanda tanah tersebut.
Melalui bencana tsunami yang melanda tanah Aceh, para pemerintah dan Badan Penanggulangan Bencana menguji coba sirene tsunami yang terpasang di 6 daerah di Aceh. Pemasangan sirene tsunami ini digunakan agar para masyarakat semakin peka dan responsif akan isyarat bencana yang akan datang, sehingga meminimalisir banyaknya korban yang berjatuhan.
Tak sedikit pula diadakan sosialisasi tanggap darurat bencana, guna mencegah terjadinya hal serupa. Aksi tersebut dapat pula disebut sebagai “disrupsi”, mengapa demikian? Karena setelah terserang oleh bencana, maka masyarakat secara tidak langsung dituntut untuk menguasai kode-kode digital, kita ambil contoh dari sirene tsunami. Berbagai kalangan mulai dari anak-anak sampai orang tua mau tidak mau harus paham betul dengan kode sirene tersebut.
Serta banyak teknologi lain yang muncul akibat bencana tersebut, antara lain penggunaan aplikasi Info BMKG yang marak digunakan untuk mengecek kondisi cuaca, iklim, sampai pergerakan air laut, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan akan bencana yang mungkin terjadi. Fenomena disrupsi tak hanya terjadi saat bencana alam melanda, namun juga saat mewabahnya suatu penyakit di suatu wilayah, seperti yang kita alami saat ini.
Pandemi covid-19 ini belum juga ditemukan titik terangnya, alias kita tidak tahu kapan berakhirnya masa ini, kita dapat mengibaratkan pandemi covid-19 yang sudah berjalan kurang lebih 2-3 tahun ini sebagai “tsunami” yang melanda masa milenial. Kita ibarat diterpa tsunami yang menghancurkan masa-masa ataupun aktivitas normal yang biasa dilakukan sehari-hari, kita dituntut untuk bertahan hidup dengan pemberlakuan pembatasan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah agar virus ini tidak menyebar luas serta membahayakan nyawa para manusia di luar sana.
Kita juga dituntut untuk “kreatif” dan hidup beriringan dengan teknologi sehingga dapat menjalankan aktivitas normal tanpa harus keluar rumah. Pada saat inilah, internet sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat, terutama para “budak corporate” yang tidak memungkinkan untuk bekerja di kantor, begitu pula dengan pelajar hingga mahasiswa yang dituntut untuk mampu menangkap materi pembelajaran secara “online”.
Mungkin sistem ini bagi sebagian orang menguntungkan namun merugikan bagi yang lainnya, karena tidak semua kalangan dapat memiliki akses internet, dikarenakan beberapa faktor seperti, ekonomi, letak rumah yang sulit dijangkau oleh sinyal internet seperti contoh saudara-saudara kita yang tinggal di daerah pelosok dan daerah lain yang memiliki kemungkinan kecil untuk berinternet.
Beberapa alternatif seperti pemasangan Wi-Fi pun tengah diusahakan di berbagai pelosok daerah, agar program online school ini dapat berjalan dengan baik dan dapat meminimalisir kendala yang ada. Namun di tengah kondisi yang membingungkan ini, tak sedikit para pemuda milenial yang mengeluarkan segala kreativitas nya, seperti pemaksimalan fungsi aplikasi belajar jarak jauh buatan anak Negeri yang tentunya dapat mempermudah proses belajar-mengajar online di tengah pandemi.
Mengambil dari kutipan Charles Darwin, bahwa dalam bertahan hidup, respon terhadap suatu perubahan adalah hal yang terpenting. Makhluk hidup harus memiliki kemampuan beradaptasi dalam lingkungan yang terus berubah di samping didukung oleh kecerdasan dan kekuatan dari diri makhluk hidup itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, generasi muda yang dapat bertahan hidup di tengah pandemi ini akan terbiasa dengan perubahan dan memiliki insting yang kuat serta kreativitas tinggi ketika menghadapi keadaan yang tak terduga. Seperti kata pepatah “mencari mutiara di laut dalam” pepatah ini sangat relevan dengan kehidupan orang muda pada masa pandemi, mereka mengalami banyak perubahan dan segala tantangan kehidupan, namun kelak mereka akan menuai hasil yang yang baik dan bahkan tak terduga pada masa yang akan datang.
https://alathiyah.dayah.web.id/2021/01/04/aminullah-banda-aceh-terus-bangkit pasca-16-tahun-tsunami/
https://news.detik.com/berita/d-2787342/unicef-puji-kebangkitan-aceh-pasca-diratakan tsunami-10-tahun-lalu
https://tekno.tempo.co/amp/1128574/kenang-tsunami-2004-aceh-uji-sirene-tsunami-di-6- lokasi
Penulis: Carolina Esther Sukma Diana